Teori Koneksionisme Edward Lee Thorndike | CPNS Kutipan
Sabtu, 23 Desember 2017
Edit
Teori Koneksionisme Edward Lee Thorndike
Karya: Rizki Siddiq Nugraha
Thorndike adalah seorang pendidik dan psikolog yang berkebangsaan Amerika. Lulus S-1 dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S-2 dari Harvard tahun 1896 dan meraih gelar doktor di Columbia tahun 1898. Buku-buku yang ditulisnya, antara lain Educational Psychology (1903), Mental and Social Measurements (1904), Animal Intelligence (1911), A Teacher’s World Book (1921), Your City (1939), dan Human Nature and The Social Order (1940).
Thorndike beranggapan bahwa belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut Stimulus (S) dengan Respons (R). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan respons adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Berdasar eksperimen yang dilakukan oleh Thorndike terhadap kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah trial and error learning atau selecting and connecting learning dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberi sumbangan yang cukup besar di dunia pendidikan tersebut, maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan.
Percobaan Thorndike yang terkenal dengan binatang kucing lapar dan diletakkan dalam sangkar yang tertutup dan pintunya dapat dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak di dalam sangkar tersebut tersentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori trial and error atau selecting and connecting, yaitu bahwa belajar terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Pada pelaksanaan percobaan ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap respons menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan respons lagi, begitu seterusnya, sehingga dapat digambarkan sebagai berikut:
Pada percobaan tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak sengaja kucing menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makanan. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10 sampai 12 kali, kucing baru dengan sengaja menyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan makanan.
Berdasar percobaan Thorndike ini ditemukan hukum-hukum belajar, sebagai berikut:
1. Hukum law of readiness (kesiapan)
Hukum kesiapan yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan membentuk asosiasi (connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan menggambar, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menggambar akan menghasilkan prestasi yang memuaskan.
2. Hukum law of exercise (latihan)
Hukum latihan yaitu semakin sering tingkah laku diulang/dilatih, maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Prinsip ini adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip ini menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
3. Hukum law of effect (akibat)
Hukum akibat yaitu hubungan stimulus respons cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi. Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat menguat atau melemah, tergantung pada hasil perbuatan yang pernah dilakukan.
Selain itu, Thorndike menambahkan hukum tambahan, sebagai berikut:
1. Hukum reaksi bervariasi (multiple responses)
Hukum ini menyatakan bahwa pada individu diawali oleh proses trial and error yang menunjukkan adanya bermacam-macam respons sebelum memperoleh repons yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
2. Hukum sikap (attitude)
Hukum ini menjelaskan bahwa perilaku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dengan respons saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya.
3. Hukum aktifitas berat sebelah (pre-potency of element)
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan respons pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi (selective response).
4. Hukum response by analogy
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respons pada situasi yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.
5. Hukum perpindahan asosiasi (associative shifting)
Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama.